Sabtu, 17 September 2011



Pemilihan Metode/Terapi Untuk Autisme
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI

Petunjuk/pedoman yang digunakan oleh ASA (Autism Society of America) dalam menilai suatu metode/cara terapi, yaitu:
1) Apakah terapi tersebut bisa membahayakan anak?
2) Apa akibatnya jika terapi tersebut gagal?
3) Apakah terapi tersebut telah terbukti secara ilmiah?
3) Apakah pra-terapi ada prosedur (assessment) yang spesifik/jelas untuk menentukan kurikulum/program?

Sedangkan petunjuk/pedoman dari NIMH (National Institute of Mental Health) bagi orangtua dalam menilai metode/cara/rencana terapi untuk anak mereka adalah:
1) Berapa tingkat keberhasilan program tersebut pada anak-anak yang pernah diterapi?
2) Berapa banyak anak yang akhirnya masuk ke sekolah reguler dengan metode tersebut?
3) Apakah terapis telah mendapat pelatihan dan pengalaman untuk bekerja dengan anak-anak autistik?
4) Apakah program terencana dan terorganisir?
4) Adakah jadwal harian yang jelas?
5) Apakah menggunakan program individual?
6) Apakah ada penilaian jelas untuk mengukur kemajuan?
7) Apakah anak mendapat aktivitas individual dan imbalan yang dapat memotivasi anak secara personal?
8) Apakah lingkungan dirancang untuk meminimalisir distraksi (pengalih perhatian)?
9) Apakah kurikulum/program memungkinkan untuk dilakukan juga di rumah?
10) Apa komitmen penyelenggara terhadap kesembuhan?

Berbagai ragam tatalaksana pada anak terdapat/ditawarkan di seluruh dunia ini, yaitu misalnya ABA (Applied Behavior Analysis), Biomedical Intervention, speech therapy, sensory integration therapy, occupation therapy, dolphin therapy, PECS (Picture Exchange Communication System), Son-Rise, TEACCH, music therapy, craniosacral therapy, EEG-Neurofeedback, hyperbaric oxygen therapy, stem cell therapy, dlsb. Namun hanya ada 2 terapi utama (intervention of choice) untuk autisme, yaitu ABA (Applied Behavior Analysis) dan Biomedical Intervention.

Di antara berbagai metode yang ada untuk terapi dan edukasi penyandang autisme, maka ABA (Applied Behavior Analysis) lah yang telah sangat luas diterima sebagai metode yang efektif dan efisien, yaitu sebagai dikemukakan oleh:
1) U.S. Public Health Service (1999): Mental Health: A Report of the U.S. Surgeon General states,“Thirty years of research demonstrated the efficacy of applied behavioral methods in reducing inappropriate behavior and in increasing communication, learning, and appropriate social behavior”
2) US Department Of Health dan NYSDOH (New York State Department Of Health, 1997): “ABA is the only intervention reccomended in autism”
3) AAP (American Academy Of Pediatrics (2007): The benefit of ABA-based interventions in autism spectrum disorders (ASDs) "has been well documented" and that "children who receive early intensive behavioral treatment have been shown to make substantial, sustained gains in IQ, language, academic performance, and adaptive behavior as well as some measures of social behavior.").

Sedangkan selain ABA dan Biomedical Intervention, terapi-terapi lainnya merupakan terapi tambahan jika diperlukan saja. Yaitu misalnya terapi okupasi hanya dilakukan jika memang ada masalah okupasi pada seorang anak, dan dilakukan hanya terbatas pada masalah okupasi itu saja, tidak semua hal/aktivitas yang terdapat dalam kurikulum terapi okupasi diterapkan begitu saja semuanya tanpa memandang diperlukan tidaknya oleh anak yang bersangkutan.

Di Indonesia, jenis terapi yang umumnya ditawarkan oleh suatu klinik/tempat terapi, adalah Terapi Wicara (TW), Sensory Integration (SI), Occupational Therapy (OT), dan Applied Behavior Analyisis (ABA).

Terapi Wicara sebenarnya sudah merupakan bagian dari kurikulum yang ada pada ABA. Bedanya adalah bahwa Terapi Wicara dalam ABA ini memang khusus dirancang dan dikembangkan untuk autistik. Sedangkan Terapi Wicara yang ada di Indonesia ini lebih ditujukan untuk menterapi pasca-stroke, tuna-rungu, (pasca-operasi) bibir-sumbing/langit-langit terbelah (cleft-lip/palate), dlsb. Sehingga tehnik dan sistematikanya tidak sesuai jika diterapkan dengan begitu saja pada autistik.

Masalahnya dengan SI dan OT yang dipraktekkan untuk autistik di Indonesia, yaitu tidak berdasarkan kebutuhan anak-anak autistik.
Praktek yang lazim dikerjakan adalah menerapkan dengan begitu saja seluruh program yang ada dalam kurikulum SI dan OT tanpa dikaitkan dengan kebutuhan anak.
Seharusnyalah sebelum menyusun kurikulum/program, perlu dilakukan assessment (pemeriksaan/penilaian) terhadap anak, kemudian disusun kurikulum/program yang sesuai (link and match) dengan hasil yang didapat pada assessment.
Namun sering assessment ini tidak dikerjakan, ataupun dibuat hanya sekedar formalitas, dan semua aktivitas yang ada di dalam kurikulum SI dan OT tetap saja diterapkan semuanya, padahal sebenarnya mungkin hanya 1-2/beberapa saja sebenarnya yang dibutuhkan, bahkan mungkin juga sebenarnya tidak dibutuhkan.

Jadi jika misalnya masalah okupasi anak adalah memakai dan melepas kaos kaki, maka itu yang dilatih/diterapi. Sedangkan misalnya tidak ada masalah jari-jemari (misalnya dalam mengokupasi pinsil) maka tidak perlu dilatih/diterapi jari-jarinya (ump memindahkan jepitan jemuran, dlsb).

Sedangkan SI untuk mengatasi masalah hiper.hiposensitivitas dengan fokus terutama pada tiga hal yaitu masalah vestibular (misalnya gerakan, keseimbangan), taktil (misalnya rabaan/sentuhan), dan proprioseptif (misalnya sendi dan ligament).
Jadi, misalnya ada masalah vestibular, barulah diterapi misalnya dengan ayunan/berayun, jika tidak maka tidaklah diperlukan.

Karena kita berkejar-kejaran dengan waktu, maka orangtua harus pandai-pandai agar jangan sampai terjadi buang-buang uang, waktu, tenaga, padahal tidak diperlukan.
Padahal waktu tersebut bisa digunakan misalnya untuk terapi ABA (Applied Behavior Analysis).
Jadi, sebelum dilakukan terapi/intervensi apapun, mohon orangtua memintakan hasil assessment, dan kurikulum/program/aktivitas apa yang akan dilakukan oleh terapis pada anak kita.
Orangtua mohon kritis jika ternyata rencana kurikulum/program/aktivitas tidak sesuai (tidak link and match) dengan hasil assessment.
Jangan takut dikatakan cerewet, karena itu adalah hak dari orangtua, yang merupakan bagian dari informed consent. Kitalah dan anak-anak kitalah yang akan menanggung risiko/akibatnya jika kita buang-buang waktu, tenaga, dan uang, secara sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar