Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
Biomedical Intervention adalah ilmu medis/kedokteran yang menterapi/memperbaiki masalah nerobiologis dan biokimiawi yang terdapat pada autistik.
Autisme diyakini penyebabnya yaitu mempunyai dasar genetik dan dipicu oleh faktor lingkungan Faktor genetik ini mengakibatkan banyak hal, misalnya masalah/gangguan enzym, imunologi, dlsb.
Gangguan/masalah imunologi ini menyebabkan a.l. anak jadi sering/mudah sakit sehingga sering mendapat antibiotik. Antibiotik ini akan membunuh "bakteri baik" di saluran usus, sehingga terjadi overgrowth (tumbuh berlebihan) "bakteri jahat" dan jamur yang akan merusak dinding usus sehingga terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai leaky gut syndrome.
Leaky gut syndrome menyebabkan berbagai bahan yang ada di saluran usus yang normalnya tidak diserap akan terserap yang kemudian mengganggu kerja otak dan syaraf.
Biomedical Intervention sebenarnyalah bukan merupakan merupakan ilmu baru, melainkan merupakan gabungan dari berbagai cabang ilmu kedokteran mainstream, seperti misalnya toksikologi, nerologi, imunologi, gastroenterologi, hepatologi, biokimia, dlsb.
Karena berbeda dengan penyakit-penyakit lain umumnya, yang hanya melibatkan terapi tunggal (umpamanya tifus hanya melibatkan pengobatan yang tertentu/terbatas saja), oleh karena kelainan yang terdapat pada sistem nerobiologis pada anak adalah kelainan yang multi-facet yang meliputi hampir seluruh sistem tubuh yang ada.
Pemberian obat-obat dan suplemen-suplemen pada Biomedical Intervention, ditujukan untuk mengobati/mengatasi masalah yang ada pada sistem nerobiologisnya, yaitu yang meliputi hampir seluruh sistem tubuh yang ada, misalnya sistem gastrohepatointenstinal, sistem detoksifikasi, sistem syaraf pusat (otak), dlsb.
Biomedical Intervention, terdiri atas restrictive-diet, medikamentosa (obat-obat), dan suplemen.
Diet dilakukan terhadap berbagai makanan/bahan makanan apapun yang diketahui mempunyai efek yang tidak baik pada anak. Diet utamanya terhadap susu dan terigu yang disebut CFGFSF (Casein-Free, Gluten-Free, Sugar-Free) diet. Hal ini berdasarkan oleh karena terdapat masalah genetik pada penyandang autisme, maka protein casein dari susu dan bahan gluten dari terigu tidak seluruhnya dicerna secara sempurna.
Protein casein dari susu yang berupa rangkaian dari asam-asam amino normalnya dipecah habis sehingga menjadi 1 cincin asam amino saja. Namun pada penyandang autisme banyak yang masih terdiri dari 2/3/lebih asam-asam amino, yang disebut sebagai peptida (peptide) yaitu dipeptida, tripeptida, dst.
Normalnya peptida-peptida ini tidak diserap oleh usus oleh karena merupakan molekul yang relatif besar dibandingkan “pori-pori” usus. Namun pada penyandang autisme, terjadi kerusakan pada dinding usus yang disebabkan oleh air raksa (merkuri) dari pengawet vaksin, ataupun karena virus campak dari vaksin Campak/MMR, ataupun karena terjadinya overgrowth (pertumbuhan berlebihan) pada jamur, maka terjadi suatu kondisi yang disebut hiperpermeabilitas (peningkatan permeabilitias/daya serap usus).
Hal ini bisa kita ibaratkan dengan saringan santan. Normalnya parutan kelapa tidak dapat menerobos saringan, tetapi hanya santannya saja yang bisa lewat. Namun jika terjadi pelebaran pada lubang-lubang saringan tersebut, maka banyak parutan kelapa yang juga ikut melalui saringan tersebut.
Sehingga pada penyandang autisme, peptida-peptida ini menjadi terserap oleh usus, kemudian mengikuti aliran darah dan mencapai otak.
Di otak terdapat berbagai reseptor, antara lain reseptor morfin. Reseptor ini ibarat sarang kunci kontak mobil, dimana anak kunci yang cocok akan dapat masuk dan men-start mesin mobil tersebut. Begitu juga dengan morfin, mereka akan memasuki reseptor-reseptornya dan menyebabkan efek/gejala morfinis. Nah, peptida-peptida yang berasal dari casein susu dan gluten terigu “bentuknya” serupa dengan “anak-kunci” morfin (seperti anak kunci palsu/duplikat), sehingga peptida-peptida ini bisa menempati/memasuki reseptor morfin dan menimbulkan gejala seperti mengkonsumsi morfin.
Oleh karena itu peptida yang berasal dari protein casein susu disebut caseomorphin, dan yang berasal dari glutein terigu disebut gluteomorphin, dan mereka dapat dideteksi dari urin penyandang autisme yang mengkonsumsi susu dan terigu, seperti layaknya tes yang dilakukan pada pengunjung diskotik saat razia oleh polisi/BNN.
Oleh karena itulah pada penyandang autisme perlu dilakukan diet CFGF (Casein-Free, Gluten-Free), yaitu mereka sama sekali tidak boleh mengkonsumsi susu dengan segala produknya (keju, yoghurt, dll) serta terigu dengan segala produknya.
Diet ini harus dijalankan secara ketat, harus 100 persen tanpa susu dan terigu, tidak boleh ada “kebocoran” sedikitpun atau sekali-sekalipun, baik yang disengaja maupun “kontaminasi” (sneaky) dari bahan makanan lain.
Di samping CFGF diet, anak juga perlu diet gula (Sugar-Free) yaitu tidak diberikan gula dalam bentuk murni atau dalam makanan/minuman dari sumber apapun (gula pasir, gula Jawa/aren/kelapa, sirup, madu, sari kurma, dlsb).
Masalahnya dengan pemberian gula ini (disakarida/polisakarida), yaitu adanya sisa-sisa gula dalam saluran perncernaan yang tidak terserap oleh usus, dan yang kemudian menjadi makanan/”pupuk” bagi jamur, sehingga jamur tumbuh berlebihan yang akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut sebagai leaky-gut syndrome, yaitu meningkatnya permeabilitas (daya serap) usus, sehingga bahan-bahan yang seharusnya tidak terserap menjadi terserap (termasuk produk-produk/toksin dari jamur, bakteri, dan parasit) yang akan mengganggu kerja syaraf/otak. Di samping itu juga terbentuk gas-gas yang akan menyebabkan anak menjadi kembung serta adanya colicky-pain.
Jadi, restrictive-diet bagi penyandang autistik tidak hanya CFGF, tetapi lengkapnya adalah CFGFSF diet (Casein-Free, Gluten-Free, dan Sugar-Free).
CFGF harus mutlak 100%, atau dengan perkataan lain tidak ada sama sekali (0%) yang dikonsumsi, tidak boleh diet ini “bocor” walaupun hanya sesekali atau seminggu sekali. Hal ini disebabkan oleh karena efek/pengaruh dari “kebocoran” susu/terigu akan berlangsung panjang, yaitu pada susu bisa mencapai 4-6 minggu, sedangkan pada terigu bisa mencapai 6-8 minggu.
apakah terapi BIT ini tersedia di MUC?
BalasHapuskira2 berapa lama menghabiskan waktu terapinya dan berapa biayanya?
terima kasih